Membangun Kultur di Tengah Kesunyian: Melawan "Bus Factor" di Birokrasi
Frans Filasta Pratama
Software Engineer
Membangun kultur sendirian itu mustahil. Definisi kultur itu sendiri adalah kebiasaan kolektif—sesuatu yang dilakukan oleh sekelompok orang secara berulang. Semakin banyak yang melakukannya, semakin kuat akarnya.
Lantas, apa yang terjadi ketika kita ingin menanam benih budaya baru di tanah yang asing?
Saat saya transisi ke dunia birokrasi, culture shock terbesar saya bukanlah beban kerja, melainkan cara organisasi memandang "aset" manusia. Di sini, saya menemukan fenomena aneh: banyak orang berlomba-lomba menjadi "satu-satunya". Ada kebanggaan tersendiri ketika seseorang menjadi Key Person—sosok tunggal yang memegang kunci akses, data, atau know-how tertentu.
Bahaya "Bus Factor"
Dalam dunia pengembangan perangkat lunak, kondisi yang saya temui di birokrasi ini dikenal dengan istilah teknis: Bus Factor. Istilah ini merujuk pada pertanyaan morbid namun krusial:
"Berapa banyak anggota tim yang harus tertabrak bus agar proyek hancur total?"

Di tempat saya bekerja sekarang, Bus Factor-nya seringkali menyentuh angka 1. Jika "Si Bapak A" sakit, pensiun, atau mutasi, maka macetlah seluruh proses. Sistem menjadi sangat fragile (rapuh).
Mereka sengaja menjaga "resource" agar hanya mereka yang memiliki, sebuah perilaku yang dalam studi psikologi organisasi disebut sebagai Knowledge Hoarding. Tujuannya klasik: validasi diri. Agar dinilai sebagai orang paling "jago" dan tak tergantikan.
Transformasi Tacit Menjadi Explicit
Ini kontras sekali dengan tempat kerja saya sebelumnya. Di sana, kami memegang prinsip No Key Person. Prinsip ini bukan sekadar slogan, tapi tertanam dalam KPI (atau SKP dalam bahasa PNS). Setiap pekerjaan wajib melalui proses hand-over dan sharing session.
Tanpa sadar, sistem tersebut memaksa kami menerapkan apa yang dijelaskan oleh Nonaka & Takeuchi (1995) dalam model SECI (Socialization, Externalization, Combination, Internalization). Organisasi yang sehat memaksa pegawainya melakukan Externalization:
- Tacit Knowledge: Pengetahuan yang mengendap di kepala, intuisi, pengalaman.
- Explicit Knowledge: Pengetahuan yang tertuang dalam dokumen, manual, kode, wiki.
Semakin cepat hand-over dilakukan (semakin cepat tacit menjadi explicit), semakin tinggi nilai kinerjanya. Tujuannya sederhana: menaikkan angka Bus Factor agar organisasi memiliki resilience (ketahanan), bukan ketergantungan.
Jalan Sunyi: GitHub sebagai Institutional Memory
Di birokrasi, tantangannya berbeda. Mencoba menerapkan sistem No Key Person di tim yang hanya berisi dua orang dengan kesenjangan kompetensi yang lebar terasa seperti usaha menjaring angin. Namun, saya menolak untuk ikut arus Knowledge Hoarding.
Saya memilih jalan sunyi: membangun repositori organisasi di GitHub.
Saya simpan semua kode, dokumen, alur pikir, dan hasil pekerjaan saya di sana. No hidden agenda. All open. Siapapun pegawai yang tertarik—sekarang atau sepuluh tahun lagi—bisa mengaksesnya. Ini adalah upaya saya membangun Institutional Memory (Ingatan Institusi).
Mengutip riset dari Connelly et al. (2012), menyembunyikan pengetahuan (knowledge hiding) mungkin memberikan keuntungan jangka pendek bagi individu (merasa superior), namun merusak kreativitas dan kinerja organisasi jangka panjang. Saya tidak ingin menjadi "legenda" yang ketika pergi, membawa serta semua kuncinya.
Meskipun negara ini mungkin belum memberikan sistem apresiasi terbaik bagi pegawainya, setidaknya kita bisa memilih untuk menjadi profesional yang bermartabat. Ketika kita mampu bercerita bahwa kita berhasil membangun sistem yang accessible, terbuka, dan terdokumentasi, kita sedang memutus mata rantai praktik buruk.
Kita sedang mewariskan start line yang lebih maju untuk generasi penerus, agar mereka tidak perlu mulai dari nol seperti kita.
Referensi
- Nonaka, I., & Takeuchi, H. (1995). The knowledge-creating company: How Japanese companies create the dynamics of innovation. Oxford University Press.
- Connelly, C. E., Zweig, D., Webster, J., & Trougakos, J. P. (2012). Knowledge hiding in organizations. Journal of Organizational Behavior.